Rabu, 11 Januari 2012

Winita E. Kusnandar, SH, MBA, MCIArb




 Srikandi Hukum Yang Mendunia


Dari sekian banyak perempuan yang terjun ke dunia advokat, hanya sedikit yang mencapai puncak. Kerasnya bidang yang satu identik kaum laki-laki. Jadi, bila ada seorang perempuan terbukti sukses sebagai pengacara. Sudah dipastikan dia bukan perempuan biasa-biasa saja.


Lahir dan dibesarkan di Solo, Jawa Tengah, sejak remaja sudah bercita cita ‘panjang’, agar sebagai perempuan bisa menjadi subyek bukan obyek. Tidak ingin hanya menjadi ‘perempuan pelengkap’ alias menjadi ibu rumah tangga saja. Bermimpi ingin menggapai pendidikan dan karier setinggi mungkin.
Dalam memilih karier pun tidak asal, tetapi terprogram sejak awal dan mengerucut ke profesi yang benar-benar menjadi tujuan dengan berbagai pertimbangan yang matang. Dalam hal ini, pilihannya adalah profesi dengan kualifikasi khusus yaitu yang memerlukan kemampuan berbahasa Inggris dan yang tidak feminin. Berawal dari minat untuk mempelajari masalah internasional, kemudian terobsesi masuk ke lapangan kerja yang bersangkut paut dengan bidang internasional yang banyak berinter-aksi dengan komunitas dari negara lain.
Selepas SMA, masuk Fakultas Hukum Jurusan Perdata (International). Selain berminat menguasai bahasa asing, juga melihat prospek dunia hukum terutama hukum internasional yang dalam antisipasinya akan sangat dibutuhkan. Selain itu, juga dalam perhitungannya, bidang hukum selain masih didominasi oleh pria, bidang hukum internasional juga belum banyak diminati oleh advokat Indonesia. Mengantisipasi bidang akademik dapat mempunyai potensi yang membuka jejaring profesi, selepas melewati jenjang Pasca Sarjana (S2) dari Universitas Leicester, England, kembali melanjutkan ke program doktoral (S3) selama 5 tahun di Universitas Indonesia dan berlanjut ke Universitas Pelita Harapan.
Ya, perempuan itu adalah Winita E. Kusnandar, SH, MBA, MCIArb. Dalam memilih karier pun ia tidak asal, tetapi terprogram sejak awal dan mengerucut ke profesi yang benar-benar menjadi tujuan dengan berbagai pertimbangan yang matang. Dalam hal ini, pilihannya adalah profesi dengan kualifikasi khusus yang memerlukan kemampuan berbahasa Inggris dan yang feminim. Berawal dari minat untuk mempelajari masalah internasional, kemudian masuk ke lapangan kerja yang bersangkutan paut dengan bidang Internasional yang banyak berinteraksi dengan komunitas dari negara lain.
Bagi para praktisi hukum di Tanah Air, nama Winita E. Kusnandar adalah sosok yang cukup dikenal. Winita, begitu ia sering dipanggil. Pendiri dan pemilik Kusnandar & Co sebuah kantor yang begitu disegani yang berkantor di salah satu gedung perkantoran di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.
Bisa jadi, di mata publik nama Winita E. Kusnandar tak setenar para konsultan hukum yang biasa menangani kasus-kasus perceraian artis ataupun sengketa selebritis. Maklum, selain sosoknya yang low profile advokat ini lebih berspesialisasi dalam menangani bidang hukum dagang, investasi dan perbankan. Dalam hal ini sasaran dari layanan jasa hukumnya lebih diarahkan bagi klien perusahaan (korporasi). Namun, soal reputasi jangan ditanya lagi. Dalam bisnis layanan jasa hukum bagi dunia bisnis di luar negeri, Winita mampu berdiri di jajaran terdepan.
Beberapa waktu lalu, Global Council, Asia Law dan The World Bank Group menempatkan Kusnandar & Co, dalam Indonesia’s Ten Largest Law Firms. Kantor hukum Winita masuk dalam jajaran 10 kantor terbesar di Tanah Air yang dikenal di luar negeri, khususnya di bidang Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property Right). Hebat memang, apalagi di antara kantor hukum 10 besar (Big Ten) lainnya hampir didirikan bersama-sama antara beberapa orang pendiri, sementara kantor hukum Kusnandar & Co. Murni milik Winita yang ia dirikan sendiri dan tentu saja ia dibantu oleh para stafnya.
Yang menarik, Winita membangun Kusnandar & Co. Betul-betul dari nol. Kantor ini hasil rintisannya sendiri, bukan melanjutkan warisan orang tuanya. Uniknya lagi, Winita sukses di jalur hukum yang di dalamnya didominasi oleh kalangan pria, entah itu di bidang konsultan, pengacara maupun kepemilikan kantornya. Bisa jadi karena sifat pekerjaan ini membutuhkan jiwa maskulin dan keberanian sehingga tak banyak perempuan yang bertarung di dalamnya. Sementara itu, Winita ingin berkarya dalam profesi yang tidak banyak digeluti oleh kaum hawa alias profesi yang tidak feminim. Pokoknya dia tidak ingin menjadi perempuan yang biasa, tetapi perempuan yang mampu menghasilkan ide dan membuat idenya mempunyai nilai intrinsic yang dapat dijual baik dengan materi maupun immaterial, yang sanggup memacu adrenalin dalam menjalankannya. Itu dia temukan dalam berinteraksi dengan klien dan segudang kepentingannya yang harus dia protek. Salah satunya, nama Winita E. Kusnandar masuk dan dikenal di dalam Wikipidea, dalam International Who’s Who Profesional, Fortune 500, legal 500, Great Minds of the 21st Century 2009,ABI Fellow 2009 serta menjadi acuan Bank Dunia.
Profesi bidang hukum menurutnya, mampu menempatkan dirinya sebagai subjek dan bukan objek, sekaligus mengangkat martabatnya sebagai perempuan yang ikut berpartisipasi aktif dalam karya pembangunan dan penegakan hukum. Ia memang mempunyai prinsip, di tengah pergolakan globalisasi, perempuan harus mampu dan ikut berpartisipasi. Winita ingin membuktikan bahwa dirinya meski seorang perempuan ternyata juga mampu meraih, survive, dan sukses mendirikan dan mengembangkan kantor jasa hukum (lawfirm) sendiri. Dan ini terbukti dengan Kusnandar & Co. yang Hingga kini mampu menjadi pemain besar di bidangnya di dalam dan terutama di luar negeri. Dari tahun ke tahun kantor hukum milik Winita terus berkembang hingga mampu mempekerjakan puluhan ahli hukum, sesuai impian Winita.
“Pada awalnya terinpirasi oleh seorang Hakim Agung Sri Widowati, SH pada waktu itu satu-satunya hakim perempuan di Pengadilan Negeri Solo” ujar Winita mengenang.
Menurutnya manusia harus mampu membagi waktu. Manusia seutuhnya, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai 3 (tiga) macam tanggung jawab. Tanggung jawab yang utama adalah tanggung jawab keluarga. Itu yang terpenting karena menyangkut masa depan generasi penerus. Tanggung jawab kedua yang tidak kalah pentingnya adalah tanggung jawab profesi, apapun jenis pekerjaannya. Tanggung jawab ketiga yang lebih berurusan dengan Sang Pencipta adalah tanggung jawab sosial kepada sesama dengan konsep memberi dan berbagi. Jika kita gagal di dua tanggung jawab yang sebelumnya maka dapat dipastikan kita juga tidak akan mampu melaksanakan tanggung jawab ketiga yang dependent dengan kedua tanggung jawab sebelumnya.
Tanpa mampu melaksanakan ketiga tanggung jawab itu secara proporsional dan dengan improvisasi yang tinggi, maka kita akan gagal menunaikan tugas dan harkat kita sebagai manusia yang seutuhnya.
Meningkatkan kualitas interaksi dan komunikasi secara efisien dengan meng-arahkannya lebih kepada pengembangan wawasan anak dan pemahaman terhadap kejadian aktual di lapangan, bila mungkin, membuka kesempatan untuk ikut berpartisipasi langsung, mampu menjadi referensi bagi keluarga maupun staff dalam segala bidang. Dengan demikian, perlu terus menerus konek dengan perkembangan dunia/global dengan segala aspeknya. Selalu memberikan contoh yang baik, melalui pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain dan senantiasa berusaha menjadi role model yang baik.
Bagi Winita, memperjuangkan tegaknya hukum dan terjaminnya pelaksanaan hak-hak asasi manusia di Indonesia sangat penting. Sekalipun suatu sistem hukum yang berlaku tergolong baik, tetapi kalau implementasinya tidak baik, pelakunya tidak profesional dan/atau tidak beretika tetap saja tidak akan berguna dan sekalipun upaya penegakan hukum telah ada, ternyata hasilnya belum menjamin bahwa hak-hak asasi manusia telah dijunjung tinggi.
Saat ini masyarakat Indonesia sedang menikmati kebebasan berekspresi setelah berpuluh tahun tertekan. Keadaan ini lalu membuka harkat dan menampilkan martabat yang carut marut di berbagai lembaga termasuk lembaga yudisial di mana Winita berprofesi. Mulai dari lembaga peradilan, kejaksaan dan kepolisian yang sebelumnya hanya terdengar sayup-sayup sampai kepada awam, sekarang masyarakat luas bahkan dapat membaca berita dan mengakses fakta berikut berbagai versi penjelasannya maupun reaksi masyarakat mulai dari yang sopan hingga yang vulgar secara terbuka di berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. ”Tak pelak lagi siapapun tahu bahwa di negeri ini, lembaga yang semestinya bersih dari segala kontaminasi ternyata justru mencerminkan karakteristik pengecut (cowardice), tidak cakap (incompetent), korupsi struktural dan pelecehan (contempt) sebagaimana yang dinyatakan oleh Sebastian Pompe di dalam bukunya The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse, hasil penyelidikannya (2005),” tuturnya.
Tak hanya itu, sosok perempuan satu ini tak pernah henti-hentinya menimba ilmu dengan berbagai kegiatan di tengah kesibukannya. Seperti mengikuti pendidikan berkelanjutan di dalam maupun di luar negeri, baik yang diselenggarakan non-afiliasi maupun yang berafiliasi dengan lembaga profesi satu dan lain untuk memperluas wawasan all in one dalam arti berbagai (multi-disiplin) disiplin tetapi selalu dengan rujukan ke arah disiplin ilmu hukum beserta semua turunannya. Misalnya jika berekstensi di bidang perbankan, maka perbankan yang berpangkal dan berujung atau komplimenter dengan bidang hukum begitu seterusnya. Tidak pernah berhenti untuk membaca, apa saja yang merepresentasikan perkembang-an dan kemajuan dunia global dan berusaha mereposisi sesuai dengan perubahan positif dari globalisasi.
Reformasi yang terjadi di negeri ini belum menyentuh hukum apalagi setelah kasus KPK yang ironis dan paradoksal itu maupun konflik dan polemik yang melibatkan perseteruan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung, yang lebih membuktikan lagi adanya mafia dalam hukum dan penegakan hukum. Berbagai lapisan penegakan hukum mengindikasikan hukum di Indonesia bersifat diskriminatif baik karena aparatnya ataupun peraturan hukumnya, apalagi didasari oleh perilaku koruptif yang telah membudaya. Contohnya, isteri Wakapolri yang tidak terjangkau hukum, politisi seperti Nazarudin yang tidak terjangkau hukum meskipun sudah ditemui dan diajak bicara tetapi tidak bisa dipaksa pulang kecuali dengan bantuan aparat hukum negara lain. Karena demoralisasi dalam semua lapisan masyarakat di Indonesia selama bertahun-tahun serta pengaruh hedonisme, diskriminasi dengan mudah terjadi. Bisa karena kepentingan politik, kelompok maupun pribadi
Bahkan, jika ada pengaruh sosiologis sekalipun. Contoh kasus besar adalah LAPINDO, Bank Bali, BLBI Bank Century dan seterusnya. Jika pemberantasan korupsi berhasil dilaksanakanpun, Indonesia masih perlu 25 tahun untuk bisa menegakkan hukum dengan benar tetapi jika tidak, Indonesia akan berjalan di tempat. Ketika berdebat dengan Socrates, Trasymachus berujar “Hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat” (The Republik). Hal senada dikatakan oleh Machiavelli bahwa “Hukum menjadi tunggangan bagi kepentingan yang berkuasa”.
Saat ini, masyarakat Indonesia sedang menikmati kebebasan berekspresi setelah berpuluh tahun tertekan. Keadaan ini lalu membuka harkat dan menampilkan martabat yang carut marut di berbagai lembaga termasuk lembaga yudisial di mana saya berprofesi. Mulai dari lembaga peradilan, kejaksaan dan kepolisian yang sebelumnya hanya terdengar sayup-sayup sampai kepada awam, sekarang masyarakat luas bahkan dapat membaca berita dan mengakses fakta berikut berbagai versi penjelasannya maupun reaksi masyarakat mulai dari yang sopan hingga yang vulgar secara terbuka di berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik.
Tak pelak lagi siapapun tahu bahwa di negeri ini, lembaga yang semestinya bersih dari segala kontaminasi ternyata justru mencerminkan karakteristik pengecut (cowardice), tidak cakap (incompetent), korupsi struktural dan pelecehan (contempt) sebagaimana yang dinyatakan oleh Sebastian Pompe didalam buku The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse, hasil penyelidikannya (2005).
Ide dan gagasan seorang Winita adalah untuk memperjuangkan tegaknya hukum dan terjaminnya pelaksanaan hak-hak asasi manusia di Indonesia. Dengan menjadi pemimpin mandiri di dalam profesinya dia merasa terbebas lepas dari kondisi dunia kerja yang di Indonesia, dalam kesetaraan antara pria dan perempuan, menurut salah satu bahasan dari buku Psikologi Perempuan: Pendekatan kontekstual Indonesia karya 9 (sembilan) psikologi dari Universitas Katolik Atma Jaya. Sekalipun suatu sistem hukum yang berlaku tergolong baik, tetapi kalau implementasinya tidak baik, pelakunya tidak profesional dan/atau tidak beretika tetap saja tidak akan berguna dan sekalipun upaya penegakan hukum telah ada, ternyata hasilnya belum menjamin bahwa hak-hak asasi manusia telah dijunjung tinggi.

Perkara Yang Paling Berkesan
Perkara paling berkesan yang pernah ditanganinya adalah ketika Winita menangani perkara pembatalan jual-beli (ekspor-impor) gula pasir oleh pengusaha Indonesia terhadap kliennya, perusahaan publik terkemuka Inggris yang dimenangkan oleh Putusan Arbitrase Inggris dan kantornya berhasil memperoleh fiat eksekusi dari Mahkamah Agung dalam perkara ini. Ini adalah fiat eksekusi putusan Arbitrase asing yang pertama kalinya pernah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, pada waktu itu oleh Ketua Mahkamah Agung Ali Said SH dan Ketua Muda Bidang Perdata Mahkamah Agung, Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja, SH. Tetapi atas kekuasaan politik pada waktu itu, sebuah ketentuan hukum positif di Indonesia yang telah dikeluarkan secara sah menurut hukum oleh lembaga tertinggi yakni Mahkamah Agung, ternyata bisa dikalahkan oleh “kekuatan-kekuatan” politik di luar hukum.
Putusan Fiat Eksekusi Mahkamah Agung No1.Pen.Ex’r/Arb.Int/Pdt/1991 tanggal 1 Maret 1991 ternyata dianulir sendiri oleh Mahkamah Agung No. 1205 K/Pdt/1990, tanggal 14 Desember 1991 yang kata-katanya tak masuk di akal yakni “Penetapan Exequatur hanya bersifat prima facie, dan Penetapan Exequatur hanya memberikan title Eksekutorial bagi putusan Arbitrase Asing tersebut, yang pelaksanaannya tunduk pada Hukum Acara Indonesia”. Akibatnya, law enforcement dalam kasus ini tidak pernah ada padahal melalui KepPres No. 34/1981 Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi New York tahun 1958 yang kemudian dipertegas dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1/1990 tentang dapat dieksekusinya secara otomatis, Pelaksanaan Putusan Lembaga Arbitrase Asing di Indonesia. Ternyata dalam implementasinya, aturan hukum itu hanya “dead letter” belaka karena tidak dapat dilaksanakan, “padahal sekali lagi klien saya telah memperoleh sebuah Fiat Eksekusi dari Mahkamah Agung secara sah dan mengikat,” tegasnya.
Selain itu, juga kasus perbankan di mana sebuah bank nasional meminjamkan dana hingga sejumlah triliunan hanya dengan jaminan pribadi dan korporasi yang disusun oleh notaris secara tidak jelas alias kacau balau sehingga tidak mungkin dieksekusi.

Persaingan-Persaingan
Dalam mengelola law firm, kami menganut prinsip etos dan etika kerja yang tinggi, ulet, disiplin dan prudence (hati-hati). Selain itu untuk mengembangkan kantor, masing-masing dari kami selalu melibatkan diri dalam kursus-kursus, seminar baik di dalam maupun di luar negeri, baik sebagai peserta maupun pembicara, pembanding atau moderator serta aktif dalam beberapa organisasi profesi internasional, seperti Advoc Asia Pasifik, Asean Intellectual Property Association, Inter Pacific Bar Association/IPBA, Arbiter di Singapore International Arbitration Center/SIAC, Global & Law Inggris, International Bar Association di Inggris dan International Trademark Association (INTA) dari Amerika Serikat. Selain itu kami juga menjalin kerjasama dengan beberapa law firm asing terkemuka baik di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Hong Kong dan Singapura.
Semakin meningkatnya tuntutan pelayanan jasa hukum dari masyarakat, maka kami juga harus selalu meningkatkan mutu layanan kepada klien dan berusaha menciptakan one stop service (pelayanan satu atap). Sistem one stop service ini dilatarbelakangi oleh sistim kerja klien yang datang ke kantor kami dengan membawa permasalahan yang saling berketerkaitan, mulai dari masalah korporasi, industri keuangan, investasi, tenaga kerja asing maupun lokal, IPR hingga litigasi. Dengan system one stop service, pelayanan kepada klien sangat efektif sebab klien yang datang akan dilayani ataupun diperiksa segala aspek yang sekiranya diperlukan atau untuk setiap kebutuhannya, baik tingkat primer ataupun sekunder. Klien tidak perlu lagi ke tempat lain bila membutuhkan jasa pelayanan selanjutnya. Untuk itu, selain melayani jasa hukum, kami juga melayani jasa lain termasuk yang berkaitan dengan pajak, keuangan, manajemen, SDM hingga pengurusan dokumen, perijinan dan sworn translator.

Profesi Lain
Memiliki 10 jenis usaha lain yang berbasis Social Responsibility yang dirintis sendiri:
-    Sekolah National Plus (TK s/d SMA)
-    Sekolah untuk keluarga pra-sejahtera (TK & SD)
-    PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) untuk keluarga Pra-Sejahtera
-    Pendidikan/Pelatihan Inklusi untuk Anak Autis
-    Brain-Based Learning (untuk anak Down Syndrome)
-    Art Gallery untuk mensponsori pelukis berpotensi.
-    Roemah Batik untuk mempromosikan produk lokal.
-    Jasa Boga untuk membuka lapangan kerja siswa putus sekolah.
-    Lembaga Bantuan Masyarakat Mandiri untuk tuna wisma sakit tanpa keluarga.
-    Puskesmas dengan 7000-an pasien pra-sejahtera

Untuk Generasi Penerus
Bercita-cita Menjadi manusia yang multidimensional yang tidak hanya terpaku menekuni satu bidang saja. Ibarat Air mengalir yang mengikuti alurnya ke kiri, ke kanan, lurus, ke bawah dan bila perlu melimpah sampai naik ke atas.

Pesan dan Harapan
Terealisasinya Indonesia sebagai Negara Hukum, bukan Negara Kekuasaan sehingga pelaksanaan hak-hak asasi manusia di Indonesia terjamin secara nyata (realita). Konstitusi mensejahterakan rakyat bukan sekelompok penguasa saja atau simbol-simbol kekuatan politik seperti yang hingga kini masih terjadi; bangkitnya kembali kekayaan sosial budaya Indonesia, yang dapat membangkitkan semangat dan kebanggaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kesetaraan gender, tetap saja tidak akan bergun perlu direalisir dengan konsisten dan harus diikuti dengan pemberdayaan perempuan. Dengan jumlah perempuan yang mayoritas, pemberdayaan perempuan tentu akan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana pernyataan Robert Zoellck, Presiden Bank Dunia: “Gender Equalization is Smart Economics”. Padahal profesi hukum harus masuk dalam dimensi sosial, etika dan moral demi rasa kepatutan dalam keadilan dan kebenar-an. Untuk itu, hukum baru bisa ditegakkan jika ada kepekaan terhadap kepenti-ngan orang banyak, tanggung jawab terhadap kesejahteraan bersama dan kesedia-an mengorbankan kepentingan pribadi dan kelompok jika semua itu berbeda dengan kepentingan rakyat banyak (Thomas Koten). Karena kesetaraan gender di Indonesia saat ini belum eksis, maka perlindungan terhadap perempuan masih diperlukan. Tetapi fakta di lapangan menunjukkan perempuan masih belum terlindungi. Hal yang banyak ditemukan secara kasat mata di dalam kasus-kasus yang diderita para TKW; masih banyaknya KDRT. Sampai bulan kelima 2011 saja sudah ada 439 kasus 80% di antaranya KDRT. Memang sudah ada Rancangan peraturan Daerah (Raperda) tentang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) yang dimulai hanya mengutamakan kelembagaannya saja dan tidak menyentuh fasilitas pendukung riil.
Obsesi yang belum sepenuhnya saya realisasikan secara optimal adalah turut berperan aktif dalam menyumbangkan tenaga, pikiran serta pengalaman dalam dunia pendidikan hukum. Pendidikan hukum menurut saya adalah salah satu instrumen penting dalam rekayasa sosial kehidupan masyarakat (a social engineering tool) di masa yang akan datang. Pendidikan hukum menentukan baik-buruknya etika masyarakat. Sesungguhnya, bagi saya, pendidikan mempunyai nilai altruistic yang tinggi karena dapat mencerdaskan kehidupan bangsa (masyarakat). Adagium fiat institia ruat coelum (hukum harus dijunjung sekalipun pilar/penguasa runtuh) yang sudah berusia primitif pun (43 SM) belum sepenuhnya terlaksana pada era modern seperti sekarang ini. Diperlukan sebuah koneksitas untuk mereformasi dan meng-harmonisasi regulasi yang progresif dan bertugas menginventarisasi dan mengidentifikasi masalah, mengkoordinasikannya dengan seluruh departemen, mensosialisasikannya kepada seluruh elemen/lembaga masyarakat yang terkait untuk menyeimbangkan kepentingan dengan tujuan utama percepatan tersusun rapi, perlu dibentuk call center terpadu yang dari waktu akan melanjutkan tugas dan menjadi pusat komunikasi kebijakan bagi generasi penerus dimana masukan-masukan akan dimanaged secara terpadu dan terus menerus, sehingga akan terjadi kesinambungan kebijakan bukan kebijakan yang setiap ganti menteri ganti kebijakan secara ekstrim dan sektoral. Proses ini akan menjadi salah satu pilar untuk menjaga program jangka panjang bukan jangka pendek per pemerintahan saja yang hanya disibukkan oleh kepentingan jangka pendek saja.
Ke depan, negara tidak boleh lagi membiarkan pemerintahan hanya pro-swasta saja yang dapat mempengaruhi atau membawa pengaruh pada jalannya bisnis, jika pemerintah hanya mementingkan atribut kebijaksanaan otorisasi, legitimasi dan urgensi semata. Pemerintah harus juga melindungi kepentingan masyarakat luas, termasuk masyarakat adat, daerah tertinggal dan pulau/daerah terluar untuk menjaga kesejahteraan dan keamanan secara menyeluruh untuk kepentingan kesatuan dan persatuan jangka panjang. Selama ini pemerintah cenderung mengabaikan kepen-tingan jangka panjang ini, sehingga mereka hanya diwakili oleh aktivis dan intelektual/akademisi reformis saja.

Spesialisasi Keahlian Hukum
Foreign Investment & Trade, (ii) Banking & Multi-Finance, (iii) Capital Market & Securities, (iv) Merger-Acquisition-Consolidation & Restructuring, (v) Admiralty & Insurance, (vi) Land/ Property & Conveyance, (vii) Realty Development & Construction, (viii) Natural Resources & Plantation, (ix) IPR Mark, Patent, Copyright, Trade Secret, Industrial Design & Integrated Circuit, (x) Labour, Industrial Relation Union (CLA), (xi) Civil-Commercial-Criminal Litigation, (xii) Local & Overseas Arbitration/Mediation, (xiii) Official Receivers & Administers, (xiv) Liquidation & Bankruptcy, (xv) Offshore Incorporation, (xvi) Tax Review & Maintenance, (xvii) Accounting Service, (xviii) Sworn Translation.


Alamat kantor :
Equity Tower, Lantai 25
Jl. Jend. Sudirman Kav. 52 - 53, Jakarta 12190.
Telp: (62-21) 5140 2020/725 3435
Fax: (62-21) 5140 2021/725 0246
E-mail: kusnalaw@kusnandar.com
Website: www.kusnandar.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar